Minggu, 12 Oktober 2014

Women Biker Community : Page 2 of 3

“Pagi-pagi begini, tumben anak Mama sudah cantik. Pakai kebaya segala. Kamu mau ke mana sih, Vie?” tanya Mama.
“Vivi mau ikut konvoi, Ma,” jawabku, singkat.
“Apa? Konvoi lagi? Kamu masih ikut geng motor itu?!” tanya Mama, nada suaranya meninggi.
“Iya, Ma,” jawabku, santai.
“Mama kan sudah melarang kamu ikut geng motor seperti itu! Kenapa sih masih ikut? Bandel banget! Mama itu ngeri, kalau kamu masih ikut-ikutan geng motor seperti itu. Kamu lihat kan berita tentang geng motor di tivi kemarin? Mereka itu identik dengan hura-hura, kebut-kebutan di jalan raya, malah yang lebih mengerikan, mereka itu suka melakukan kekerasan fisik, bikin onar, dan merampok. Mama itu was-was! Jadi kepikiran terus sama kamu. Kamu itu anak Mama satu-satunya. Mama takut terjadi sesuatu yang nggak diinginkan sama kamu!” Mama menjelaskan panjang lebar.
“Tapi, Ma... geng motor kami tuh nggak kayak itu. Tujuan dari konvoi ini juga bukan untuk hura-hura atau kebut-kebutan, kok. Tapi untuk menyebarkan pamflet, buat acara penyuluhan minggu depan. Vivi boleh ikut konvoi kan, Ma?” aku merajuk.
“Sekali nggak boleh, tetap nggak boleh, Vivi!”
“Tapi, Ma....”
“Sudah, nggak ada tapi-tapian! Kamu mau Mama bilang ke Papa, kalau kamu masih ikut geng motor?!” Mama mengancamku.
Aku terdiam. Mama benar-benar marah. Tapi aku harus berkata apa kepada teman-teman yang lain, kalau aku nggak ikut konvoi hari ini? Duh, bingung banget. Kalau aku diam saja, aku takut Mama menyangka bahwa tuduhan tentang geng motor kami itu memang benar. Tapi kalau aku menentang Mama, aku takut dikatakan sebagai anak durhaka, yang nggak patuh kepada kata-kata orangtua. Aku harus gimana nih untuk ngebuktiin bahwa semua yang Mama tuduhkan kepada WBC itu salah....
Setelah satu menit aku berpikir, akhirnya aku memutuskan untuk tetap pergi, ikut konvoi.
Sesampainya di base camp, ternyata di sana baru ada Ria, Sarah, Lita, Sasa, Sisi, Indah, dan aku.
“Ria, kok yang datang baru tujuh orang? Ke mana yang lain?” tanyaku, heran.
“Yang lain nggak dapat ijin dari orangtuanya untuk ikutan konvoi. Tapi kita nggak cuma tujuh orang begini, kok. Nanti ada Polwan yang ikut konvoi juga supaya konvoi kita bisa tertib dan nggak ada penyusup yang bisa jadi profokator dan bikin onar. Jadi nggak memberikan kesan buruk sama masyarakat.”
“Orangtua mereka nggak ngijinin pasti karena melihat berita tentang geng motor di tivi. Padahal kan nggak semua geng motor kayak gitu,” kataku, pasrah.
“Iya, Vie. Satu geng motor yang bikin salah, kita semua deh yang harus nanggung dampaknya,” Sasa ikut berkomentar.
“Oke, kita bahas hal ini nanti saja, ya. Setelah konvoi. Karena Ibu Polwan sudah datang,” seru Ria.
Setelah berdoa, kami lantas berangkat. Dengan dipimpin oleh seorang anggota Polwan.
***
Ternyata, konvoi yang baru saja kami mulai, nggak selancar apa yang dibayangkan. Ada beberapa masyarakat yang memblokade jalan dan nggak ngijinin kami untuk melewati daerah mereka. Malah, pamflet penyuluhan yang kami bagikan disobek-sobek oleh mereka.
Aku sedih banget waktu mereka bilang, bahwa geng motor seperti kami cuma pembuat onar! Tanpa sadar, air mataku mengalir membasahi pipi....
“Apakah sudah sedemikian buruknya kesan geng motor di masyarakat? Sampai-sampai mereka menganggap semua geng motor itu sama. Hanya pembuat onar!” Hatiku berbisik, miris.
Meskipun kami berteriak dengan lantang kepada mereka, “Kami nggak seperti geng motor yang lain. Kami berbeda dari mereka. Sangat berbeda!” mereka tetap nggak mau mendengar apa pun yang kami katakan. Mereka tetap bersikukuh dengan apa yang mereka yakini!
“Sepertinya kita harus berbalik arah. Karena kalau kita memaksakan perjalanan ini, khawatir akan terjadi sesuatu yang lebih buruk,” saran Ibu Prita.
“Kenapa harus seperti itu, Bu?” protesku, kepada Ibu Prita.
“Karena kemarahan mereka, bukan kemarahan biasa,” seru Ibu Prita, penuh isyarat.
Dengan berat hati, akhirnya kami pun menuruti saran Ibu Prita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar